Selasa, 28 April 2009

cerpen di jaring laba-laba

Di Jaring Laba-Laba

Cerpen Anggoro Gunawan Silakan Simak!
Dimuat di Jurnal Nasional Silakan Kunjungi Situsnya! 03/29/2009 Telah Disimak 356 kali

Ia teman yang menyenangkan. Dari pandang pertama saja aku sudah bisa tahu hal itu. Orang biasanya mudah dikenali dengan tatap matanya. Matanya penuh permainan. Aku suka permainan.

"Jika kau diberitahu bahwa kau besok akan mati bagaimana?"

SMS itu kuterima larut malam. Entah apa yang ada di pikirannya, padahal tadinya aku mengirim SMS berita kematian seorang budayawan. Lama aku berpikir mencari jawaban. Aku tidak ingin kelihatan tolol dengan jawaban konyol. Mungkin temanku itu yang akan kuberi tahu dulu kabar kematian ini, melalui SMS tentu saja. Aku akan pamitan dan berharap bisa berteman di alam kubur. Atau, aku akan mendatanginya dan bercerita apa saja. Ya, seperti perbicangan di sudut warung kopi. Sambil menyerutup espresso atau cappucino. Dan begitu ajal datang, darahku penuh kafein. Pada akhirnya, justru SMS tolol yang kukirim.

"Aku akan bilang pada si pembawa pesan, aku tak percaya. Tuhan biasanya tidak seperti ini. Kalau kamu?"

Aku tak percaya ada prosedur pemberitahuan dulu sebelum datangnya malaikat pencabut hayat, dan ini jawaban paling masuk akal. Aku tidak ingin kelihatan bodoh. Aku juga tak ingin dia tahu aku sedang memikirkan keganjilannya. Cukup lama ia menjawab.

"Aku akan bercinta dan mati di pelukan kekasihku."

Romantis. Ia mengutipnya dari film Almodovar. Perempuan ini gila film. Kadang aku menemaninya menonton, entah di gedung bioskop, entah di pusat kebudayaan, entah cuma berdua memutar DVD di kamarnya. Pertemanan ini gegap gempita dengan setumpuk skenario. Plotnya bermacam-macam. Aku suka skenario berakhir ceria, ia suka duka di ujung cerita.

Aku ingat saat kami menonton Unbearable Lightness of Being, kami tiduran di ranjang. Film yang diambil dari karya Milan Kundera ini memicu hormon lain. Tapi dia kan teman? Teman harus mampu mengendalikan hormon, pikirku. Ia memang teman yang menyenangkan, namun mungkin bisa juga kekasih yang menceriakan, sisi otakku yang lain angkat bicara.

"Kau yakin mencintaiku?"

"Yakin."

"Rumus kimianya berbeda dengan pertemanan."

"Memangnya rumusnya seperti apa? Aku lebih suka fisika. Mekanis saja."

Ia mengerling. Itu bukan kerlingan teman. Sesungguhnya ini pengkhianatan. Ia telah punya kekasih di luar kota sana. Seorang lelaki yang yang ia beri cinta pada pandang pertama. Ia tidak bisa memutuskannya. Cinta pada pandang pertama adalah tanda-tanda cinta yang sesungguhnya. Jelasnya, aku menjadi lelaki nomor dua. Pengkhianatan tidak selamanya menjadi bencana seperti di film-film itu, pikirku. Lagi pula, aku suka cerita dengan akhir bahagia.

Aku seperti lelaki yang memuja sesuatu yang hampa dan aku tidak menganggapnya sia-sia. Lagi pula dugaanku memang benar, ia kekasih yang menceriakan. Hari-hari berjalan dengan jalan cerita yang sudah salin rupa. Lebih indah dari semula. Kecuali, tentu saja, ketika kekasih luar kotanya itu sedang berkunjung.

Kadang aku terpikirkan mendatangi kekasihnya yang satu itu dan menyodorkan suatu tawaran. Aku menjadi sang kekasih dan dia yang menjadi teman. Ia yang bertugas mendengar keluh kesahnya, dan aku yang akan bercinta di ujung hidupnya. Akan tetapi nyaliku tidak seperkasa itu.

Hal ini malah mengingatkanku pada apa yang dialaminya. Lelaki itu mungkin menyimpan rindunya rapat-rapat. Dibungkusnya di bawah bantal dan memeluknya di pembaringan selagi tidur serta mimpi bercinta habis-habisan. Lalu, apakah ia masih akan bisa memeluk kencang rindu itu jika yang terjadi adalah pengkhianatan?

Di sini, rindunya itu berjejal dengan rinduku. Rindu yang juga kubungkus di bawah bantal. Kadang kupintal lembar demi lembar seperti kerinduan seorang teman. Lain waktu kulipat rapi menjadi bingkisan roman picisan dari kisah pengkhianatan. Hidupku cukup sentosa dengan batas bias kekasih dan teman ini. Pintalan dan lipatan.

Cinta memberi aku sayap untuk terbang, berwisata di anjungan awan, tertawa riang di pucuk menara, dan anjangsana keliling kota. Tapi sayap itu kadang hanya bisa kepak-kepak di bumi. Kepak-kepak ayam yang hanya bisa menerbangkan debu. Seperti juga ayam, aku mengalami rabun senja. Tidak buta seutuhnya. Rabun cuma mengaburkan.

Suatu hari, ketika rabunku kumat, aku menemukan dia sedang menangis. Ia indah saat meneteskan air mata. Keindahan rinai gerimis yang tepat berada di pelukan. Tak perlu mantel karena aku suka basahnya.

"Kau pikir mudah punya dua kekasih?"

"Aku justru selalu berpikir kau lah yang akan bermasalah. Aku tak bisa seperti kau. Dadaku tak cukup untuk menampung dua perasaan yang mendebarkan dalam satu masa sekaligus."

"Setiap bersama kau, aku ingat dia. Setiap bersama dia, aku ingat kau."

"Lalu bagaimana?"

Tak ada aturan baku yang berlaku saat berhubungan dengan perasaan. Ketika aku mengirim kabar perpisahan, itu pun mendatangkan tangis. Aku pikir perpisahan akan memudahkan, dan tidak membuatku melihat airmata lagi. H2O terurai menjadi hidrogen dan oksigen. Itu rumus kimianya. Tapi aku lupa, ia pernah berkata bahwa rumus kimianya berbeda. Ini juga bukan pelajaran aritmatika atau aljabar. Dari sisi geometri, sudut berbeda menghasilkan lintasan koordinat beriring yang tak sama. Ia menangis lagi dan tak memiliki rumus yang sama dengan pembicaraan yang dulu. Ia menangis dengan bahasa geometri.

"Mencintai dan menjaga hubungan itu berbeda."

Aku diam. Aku merasa tak berhak angkat bicara. Diam yang emas. Ia tersenyum seperti mendapat sebongkah emas. Aku ingin dia bahagia dan bisa tersenyum seperti itu selamanya. Kata "selamanya" menjadi kata favorit orang yang sedang jatuh cinta, bukan? Kata ini sejajar dengan kata-kata basi lain yang sering digunakan pembuat lirik lagu populer. Kata-kata yang sejamak dengan senyum dan tidak ada seorang pun di dunia yang bisa tersenyum selamanya, bahkan orang gila sekali pun. Jadi apa gunanya selamanya jika kemudian menyadari apa yang terjadi ternyata fana?

"Bukankah kau akan lebih mudah? Kau cukup mencintai satu orang. Kau tak perlu lagi menangis."

"Andai semudah itu. Bagaimana jika kau bisa memilih, pernah merasakan yang enak lalu tidak sama sekali atau tidak pernah merasakan enak sama sekali?"

Sebenarnya aku tak suka dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Sayangnya, ia suka melontarkannya dan aku tidak memiliki keberanian menggantung pertanyaan tanpa jawaban.

"Tidak merasa enak sama sekali, karena kepahitan akan terasa manis jika belum mengenal apa rasa manis yang sesungguhnya."

"Akan tetapi kenyataan tak seperti itu."

Ini permainan logika sederhana gaya Aristoteles, sementara dia lebih suka menempuh lajur lain. Ada wilayah lain yang mengesampingkan logika dan memberi kesempatan detak jantung untuk mengambil keputusan. Ia mendekonstruksi senyumnya. Ia mungkin sedang memilah dunia menjadi dua. Yang satu absolut, yang satu maya. Kehidupan nyata dan tiruannya. Mimesis, kata Plato.

"Bagaimana jika kita sepakat untuk putus tiap hari?"

"Maksudmu?"

"Ya, kita putus tiap hari."

"Aku tak paham."

"Saat kau pulang nanti, kita putus. Tapi saat ketemu lagi, kita masih bersama."

Ide aneh tapi kuterima juga. Aku menyukai suasana ketika berdebar-debar itu dan sebenarnya masih tak rela membuangnya begitu saja. Bisa kutulis 100 lembar puisi cengeng jika itu sedang terjadi. Puisi dengan diksi yang itu-itu juga, penuh kata-kata basi. Kuulang dan kuulang. Dibaca berulang kali. Berdebar lagi. Ketika waktu dihitung dengan debar jantung, jarum jam tak berguna sama sekali. Dan aku percaya, ketika Einstein menemukan teori relativitas waktu, ia sedang jatuh cinta. Lalu ia menautkannya dengan kumpulan rumus-rumus. Pemuja fisika tidak akan sudi bertaruh emosi tanpa pembenaran logika yang pasti.

Kami masih sering bertemu. Entah bagi dia, tapi tak ada bedanya dengan semula. Saat aku pulang, tidak ada perasaan bahwa itu sebuah perpisahan. Aku bersenandung riang sepanjang jalan pulang. Hitam malam justru memperjelas otakku yang merah jambu. Malam bukan lubang hitam yang bisa menyerap segalanya. Sampai suatu malam aku bertemu kekasihnya yang dari luar kota.

Itu bukan perjumpaan dalam arti nyata. Ia datang di mimpiku. Kami berbincang tentang perempuan yang menyenangkan itu. Ia bicara dengan datar, seperti memainkan gitar dengan chord yang selalu sama. Aku sadar mengapa ia bisa menjadi kekasih yang sesungguhnya. Ia bisa mengubah dirinya menjadi halusinasi. Hal ini mengingatkan aku pada perempuan itu saat menceritakan tentang dia. Matanya akan berbinar-binar, seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan. Ia akan bercerita, bercerita, dan terus bercerita.

Cerita-cerita yang menyiksa, yang membuatku kembali menjadi teman biasa. Ia memang teman yang menyenangkan, tapi tidak saat seperti ini. Saat aku tak rabun sama sekali.

Matanya penuh permainan, dan mataku seperti dipermainkan. Dari lagu bertempo adagio menjadi alegro. Ia bisa merabunkan sekaligus membelalakkan mataku. Akan tetapi semua terus sama. Tidak ada jaring laba-laba yang kasat mata oleh mangsanya. Tapi dia bukan laba-laba dan aku juga bukan nyamuk.

"Kau sadar tidak?"

Aku menatap sekelilingku. Di kafe ini tidak ada yang aneh. Kami duduk di sebelah meja pesohor sastra. Itu juga bukan hal yang aneh untuk disadari. Kafe merupakan tempat lumrah para pencari inspirasi, atau kencan seperti ini.

"Apa?" Aku menyerah mencari tahu.

"Dulu kita juga duduk di sini."

Ia tersenyum dan matanya berisi permainan. Aku tersenyum dan menyadari kami memesan menu yang sama seperti dulu. Aku juga semakin menyadari bahwa kami, aku dan dia, adalah mangsa dari jaring laba-laba. Sejauh ini, laba-laba itu belum datang menikmati santapannya. ***